Author : Anthony Stevens
Tahun Terbit : 2023
Jumlah Hal. : 253 Hal.
Format : Paperbooks
Bahasa : Indonesia (terj.)
Publisher: Jakarta, Baca.
Resensi Oleh: ewafebri
Rating: 4/5
Sinopsis
Carl Jung dikenal sebagai pribadi yang paradoks. Di satu sisi, dia adalah seorang pribadi dan psikiatri yang sangat unik, dan bahkan eksentrik dalam menelaah kejiwaan manusia.Unik karena berbeda dari sahabat dan (mantan) gurunya, Sigmund Freud, yang menganggap pembentukan kepribadian dan perkembangan kejiwaan manusia sudah purna pada masa kanak-kanak–apa yang dialami pada masa dewasa hanyalah replikasi atau bahkan residu pola yang sudah tergaris pada masa kecil.
Sebaliknya, bagi psikologi Jungian, kepribadian manusia berkembang sepanjang hayat dan manusia dapat mengubah arahnya dan membentuk suatu pola baru.
Faktor yang lebih penting bagi pengembangan kepribadian, menurut pengalaman dan pengamatan Jung adalah arketipe: gambaran kultural yang historis dan terwariskan turun temurun secara tidak sadar yang perlu diangkat ke alam kesadaran.
Arketipe inilah yang perlu diinterpretasikan dari mimpi dan keadaan trans, tidak melalui asosiasi bebas, tapi melalui pembacaan historis. Di sinilah Jung sering kali di salah pahami sebagai psikiater yang percaya takhayul. Sama sekali bukan!
Di sisi lain Jung tidak terlalu memedulikan apa yang orang lain lihat dan katakan tentangnya. Dia tidak risau dipandang anti-ilmiah, sebab dia memang tidak rigid dalam membedakan ilmu pengetahuan dan mitos.
Justru dia melihat bahwa manusia modern menjadi neurosis karena terpisah dari mitosnya. Kembali terhubung dengan mitos, dengan arketipe-arketipe menyejarah, adalah satu-satunya cara yang menurut Jung dapat membebaskan manusia dari penyakit kejiwaan modern.
Ulasan Penulis
Buku ini adalah karya Anthony Stevens yang membahas tentang gagasan Jung dalam memahami kepribadian manusia. Dari buku ini, saya telah mendapatkan banyak perspektif baru tentang bagaimana pikiran dan dimensi dualitas dalam diri manusia saling memengaruhi untuk mencapai keseimbangan.Salah satunya adalah pandangan Carl Jung yang menyatakan bahwa setiap manusia memiliki dua identitas. Identitas pertama adalah bagaimana orang lain mengenali kita, di mana persona dan ego berperan penting dalam membangun relasi dengan dunia luar. Persona digunakan untuk mengekspresikan bagian diri yang tidak bisa ditunjukkan oleh bayangan atau shadow.
Persona dan ego bekerja sama untuk membentuk identitas pertama ini. Dengan keduanya, kita bisa berbaur dengan lingkungan sekitar dengan damai karena kedua elemen tersebut bisa dikendalikan atau dimanipulasi oleh ego sesuai dengan keinginan kita tentang diri kita sendiri.
Namun, identitas manusia tidak berhenti di sini. Ada identitas kedua yang jauh lebih dalam, yaitu bayangan (shadow), anima, dan animus yang bekerja dalam integrasi dengan Sang Diri (The Self) untuk mencapai proses individuasi, atau aktualisasi diri.
Sang Diri, menurut Jung, adalah identitas diri yang tersembunyi dan tertutup oleh bayangan. Banyak orang tidak menyadari keberadaannya, bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak perlu dikenali. Padahal, The Self memiliki blue print hidup kita yang sangat penting.
Sang Diri, menurut Jung, adalah identitas diri yang tersembunyi dan tertutup oleh bayangan. Banyak orang tidak menyadari keberadaannya, bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak perlu dikenali. Padahal, The Self memiliki blue print hidup kita yang sangat penting.
Jung menganalogikan The Self sebagai jiwa yang berumur jutaan tahun dan menyimpan ketidaksadaran kolektif. Sebelum seseorang benar-benar memahami The Self, ia akan berhadapan dengan berbagai arketipe yang mengelilinginya.
Dari perspektif ini, saya jadi berpikir, "Apakah yang dimaksud Jung dengan The Self adalah jiwa kita yang telah disumpah oleh Allah SWT 50.000 tahun lalu dalam tulang sulbi Nabi Adam?"
Hal ini seperti yang dijelaskan dalam QS. Al-A'raf ayat 172, yang mengungkapkan bahwa roh kita telah bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan kita jauh sebelum kita lahir ke dunia.
Bagi sebagian orang, ayat ini mungkin terasa membingungkan atau biasa saja. Namun, bagi mereka yang pernah mempelajari kondisi jiwanya sendiri, ayat ini terasa sangat dalam dan relevan dengan pemahaman Jung tentang The Self.
Bagi sebagian orang, ayat ini mungkin terasa membingungkan atau biasa saja. Namun, bagi mereka yang pernah mempelajari kondisi jiwanya sendiri, ayat ini terasa sangat dalam dan relevan dengan pemahaman Jung tentang The Self.
Keduanya, dalam pandangan saya, tidak jauh berbeda. Untuk bisa memahami semua ini, kita harus mengosongkan diri dari identitas pertama yang sering kita banggakan, yaitu ego dan persona. Kita perlu berani menjelajahi diri, memahami bayangan yang terpendam, dan memahami keseimbangan psikis kita.
Melalui perjalanan ini, kita mungkin akan merasa seperti mengalami halusinasi, seperti berada dalam dongeng masa lalu. Hal ini bisa terjadi karena kita sedang mempelajari ketidaksadaran kolektif yang sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun, ketika kita mulai mengungkapkan apa yang kita temui, orang-orang yang masih bergantung pada ego dan persona seringkali akan menganggapnya sebagai sesuatu yang "gila" atau "tidak biasa".
Melalui perjalanan ini, kita mungkin akan merasa seperti mengalami halusinasi, seperti berada dalam dongeng masa lalu. Hal ini bisa terjadi karena kita sedang mempelajari ketidaksadaran kolektif yang sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun, ketika kita mulai mengungkapkan apa yang kita temui, orang-orang yang masih bergantung pada ego dan persona seringkali akan menganggapnya sebagai sesuatu yang "gila" atau "tidak biasa".
Dimensi ketidaksadaran kolektif ini memang rumit, dan beberapa perspektif dalam Islam menyebutnya sebagai alam malakut, yang hanya bisa dimasuki setelah kita menghadapi bayangan atau melakukan tazkiyah nafs.
Menariknya, saya juga merasa bahwa seni memegang peran penting dalam sejarah hidup manusia. Seni menjadi ruang bagi individu yang tidak bisa mengekspresikan diri secara langsung.
Menariknya, saya juga merasa bahwa seni memegang peran penting dalam sejarah hidup manusia. Seni menjadi ruang bagi individu yang tidak bisa mengekspresikan diri secara langsung.
Di dalam ruang seni, bayangan (shadow) yang terpendam atau tertekan bisa diekspresikan dan bermanifestasi dalam berbagai bentuk, seperti lukisan atau tulisan. Dalam Islam, seni penulisan, visual tanpa representasi makhluk hidup, mandala, dan kaligrafi adalah bentuk seni yang diperbolehkan, sementara patung yang bisa menumbuhkan kemusyrikan tidak diperbolehkan.
Jung, dalam pandangan saya, memiliki gagasan yang lebih selaras dengan pemahaman yang saya ketahui dalam perspektif Islam. Saya merasa lebih setuju dengan pandangan Jung dibandingkan Freud.
Jung, dalam pandangan saya, memiliki gagasan yang lebih selaras dengan pemahaman yang saya ketahui dalam perspektif Islam. Saya merasa lebih setuju dengan pandangan Jung dibandingkan Freud.
Secara konsep, apa yang disampaikan Jung lebih dekat dengan ajaran-ajaran yang saya pahami dalam Islam, sementara teori Freud terasa jauh berbeda. Menariknya, mempelajari teori Jung dan Freud bagi saya seperti memahami perbedaan antara pribadi introvert dan ekstrovert. Keduanya tidak salah, karena Tuhan menciptakan keduanya untuk memberikan keseimbangan di dunia ini.
0 Komentar